Cinta selalu memainkan peran sentral dalam kehidupan setiap makhluk. Siapa bisa menolak pernyataan itu? Ambil contoh sederhana misalnya. Seekor induk ayam tak mungkin mau mengerami telurnya berlama-lama tanpa makan dan minum, kalau saja ia tak cinta pada calon anak-anaknya. Macan pasti sudah memangsa anak-anaknya, jika saja binatang buas itu tak cinta pada turunannya.
"Dan di
antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kamu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan
dijadikanNya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang
berfikir." (QS 30:21)
Tak bisa
dipungkiri, cinta menjadi pengokoh ikatan keluarga, ikatan suami isteri, bahkan
ikatan sosial dan bangsa. Sepanjang sejarah, kita tidak pernah mendapatkan
suatu masyarakat atau bangsa menjadi kokoh tanpa ada rasa cinta sesamanya.
Cinta menjadi ikatan sejati yang selalu melahirkan kekuatan dan daya tarung
yang tinggi.
Dalam konteks
kehidupan rumah tangga, suami yang mencintai isteri akan membuat isteri tenang
melakoni tugas-tugasnya sebagai isteri dan ibu rumah tangga. Betapapun
rutinitas tugas-tugas itu sangat mekanis dan terkesan membosankan. Tapi apabila
didasari cinta yang tulus antara keduanya, hati para isteri/ibu terasa plong
mengerjakannya.
Namun apakah cinta seorang isteri bisa
tumbuh dan langgeng hanya karena dicukupi kebutuhan materi dan psikisnya
semata? Dengan memberinya barang-barang yang dibutuhkan serta memberikan atensi
dan pujian terhadap prestasi pekerjaan rumah tangganya. Tanpa belaian
cinta-kasih seorang suami?
Jangan dulu kita
merasa telah memberikan cinta yang utuh jika care kita baru sebatas itu. Ada
satu aspek penting lain sebagai faktor penentu tumbuhnya cinta dan ketenangan
hati seorang isteri. Faktor itu adalah aspek kecukupan biologis (kemesraan).
Aspek terakhir
ini, sesungguhnya juga sangat ditekankan Nabi SAW pada kita agar isteri kita
merasakan kepuasan dan ketenangan bathin. Mesra ketika berkumpul bersama
seluruh anggota keluarga, dan mesra ketika kita berdua dengan isteri,
seyogyanya harus berjalan beriringan. Kemesraan hubungan keluarga dan kemesraan
hubungan suami-isteri sesungguhnya satu mata rantai yang tidak bisa dipecah.
Ibarat gula dengan rasa manisnya, atau garam dengan rasa asinnya.
Sebagai contoh
sederhana, bila kita biasa mencium kening anak-anak kita. Kenapa hal itu tidak
kita lakukan kepada isteri kita? Bila kita bisa mengatakan pada anak kita,
"Mia, papa sayang deh sama Mia!" Kenapa kita tidak berani
mengatakannnya kepada isteri kita, "Dinda, abang sungguh cinta pada
Dinda!"
Ungkapan-ungkapan
cinta yang sering diperagakan oleh pasangan suami-isteri (pasutri) di Barat
seperti "I love you", sesungguhnya Islam mengajarkan
ungkapan-ungkapan yang jauh lebih mesra dari itu. Rosul mulia bahkan selalu
menyapa isterinya Aisyah r.a dengan panggilan"Ya Humairo...!" (Wahai
Si Pipi Merah). Sehingga kemesraan yang ingin dibangun Islam dalam kehidupan
rumah tangga Muslim, bukanlah kemesraan sesaat. Tapi kemesraan yang tak lapuk
oleh hujan, dan tak lekang oleh panas, alias kemesraan yang tidak kenal usia
dan momentum.
Orang boleh
tercengang manyaksikan meriahnya pesta-pesta kawin perak atau kawin emas
beberapa pasutri. Tapi kita tidak tahu secara rinci bagaimana mesranya hubungan
mereka dalam kehidupan rumah tangga. Padahal Rasul menekankan agar kita selalu
bermesraan dengan isteri dalam usia dan momentum apapun. Di tengah-tengah
keluarga ketika dalam keadaan santai, kita harus mesra dengan isteri dan anak.
Di dapur kita harus juga mesra dengan isteri. Bukankah Rasul mulia selalu
membantu pekerjaan rumah tangga (dapur) isterinya dengan mesra dan romantis?
Memerah susu, menambal baju, menumbuk gandum, menjahit sendal, dan lain
sebagainya.
Saat bepergian
kita pun seyogyanya kudu mesra dengan isteri. Apalagi bila sampai pada tahap
hubungan privasi suami-isteri, sudah sepatutnya kita melayani isteri semesra
dan seromantis mungkin. Pasal terakhir ini jangan dianggap remeh. Sebab
meremehkan kemesraan hubungan dengan isteri, boleh jadi menimbulkan kebosanan
dan berujung pada petaka yang tak kita inginkan.
Dalam salah satu haditsnya Nabi SAW
berpesan;
"Apabila salah seorang di antara
kalian mendatangi isterinya, hendaklah keduanya menutupi (tubuhnya). Janganlah
keduanya bertelanjang seperti senggamanya dua ekor keledai. Dan hendaklah ia
mengawalinya dengan kata-kata rayuan dan ciuman." (HR Ibnu Majah)
Kemesraan di
tempat tidur? Kenapa tidak! Justru Alquran maupun Hadits banyak mengisyaratkan
pasal hubungan istimewa itu. Jangan dikira karena sifatnya yang sangat
istimewa, ia tabu untuk diperbincangkan, sehingga orang hanya tahu lewat rekaan
belaka. Padahal untuk membangun kemesraan kehidupan suami-isteri, teknis
hubungan istimewa inipun diizinkan untuk dilakukan berdasarkan selera dan untuk
mencapai kepuasan masing-masing. Tentu saja hal itu boleh dilakukan selama
tidak melanggar prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Islam.
Alquran mengisyaratkan hal itu;
"Isteri-isterimu bagaikan
ladang-ladang kamu. Karena itu, datangilah ladang-ladang kamu bagaimana saja
kamu kehendaki. Dan takutlah kepada Allah, dan ketahuilah sesungguhnya kamu
akan bertemu Allah, dan berilah kabar gembira (hai Muhammad) orang-orang
Mukmin." (Q.S 2 : 223)
Ketika menafsirkan
ayat di atas Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi, dalam kitab tafsirnya yang
terkenal menjelaskan arti al-hartsu dan annaasyi'tum dalam ayat di atas sebagai
berikut;
Al-hartsu artinya
tempat menaburkan benih atau tanah tempat bercocok tanam. Istri diumpamakan
dengan ladang sebab dalam rahim istri itu tempat tumbuh anak (sumber keturunan)
seperti tanah untuk menanam atau menebar benih. Annaasyi'tum artinya sekehendak
kamu (sebagaimana keinginanmu dalam cara bersenggama), boleh dengan cara berdiri,
duduk, dan berbaring; boleh dari depan dan dari belakang, asal sasaran yang
dituju adalah tempat menanam yaitu vagina.
Diriwayatkan,
bahwa latar belakang turunnya ayat di atas berkaitan dengan orang-orang Yahudi
pada masa Rasulullah SAW. Mereka berpendapat apabila seorang suami menggauli
isterinya dari belakang, niscaya anaknya akan lahir cacat; matanya akan menjadi
juling. Orang-orang Anshar di Madinah kemudian mengikuti pendapat kaum Yahudi
tersebut. Turunlah surat
Al-Baqarah ayat 223 yang mematahkan prasangka orang-orang Yahudi itu.
Dengan demikian
praktek hubungan istimewa suami-isteri, dengan berbagai posisi asal tidak
ditujukan pada dubur isteri hukumnya halal. Jika saja pertimbangan pilihan gaya berhubungan itu
untuk menumbuhkan kemesraan dan kepuasan suami-isteri. Rasulullah juga
menegaskan, "Dari belakang atau dari depan (tidak apa-apa), asalkan pada
vagina." (HR Muslim dan Abu Dawud)
Jangan anggap
remeh aspek yang satu ini. Boleh jadi isteri merasa bosan lantaran tidak tumbuh
nuansa kemesraan di dalam rumah tangga. Maklum saja. Bukankah isteri kita juga
seorang manusia yang pasti mengalami masa-masa kejenuhan menghadapi tugas-tugas
rutin rumah tangga yang tak ada habis-habisnya itu? Insya Allah kemesraan kita
bisa menghilangkan rasa kebosanan itu.
Ayo
bermesra-mesralah dengan isteri sekarang juga. Agar isteri tidak merasakan
kebosanan berada di rumah. Agar anak-anak merasakan kebahagiaan. Agar api cinta
seluruh anggota keluarga menjadi terus teraaaang dan terang teruuusss...!
(sultoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar